Pasca bergulirnya perpindahan ibukota ke IKN, ada berbagai aspek yang mungkin akan berubah dalam kehidupan warga Jakarta, diantaranya dalam aspek penataan kota Jakarta dan interaksinya dengan wilayah sub-urban di sekelilingnya. Hal ini menjadi tema diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) Jakarta, bekerjasama dengan EAROPH Indonesia, Komunitas Mikirin Jakarta dan PII yang bertajuk “Jakarta menuju Kota Global: Tantangan dan Solusi“.

Acara yang berlangsung pada Senin (3/6) pagi di Hotel Novotel Cikini ini menghadirkan dua figur kepala daerah yang sama-sama berlatar ahli perencanaan wilayah sebagai pemantik diskusi, yaitu Gubernur Jawa Barat 2018-2023, Ridwan Kamil dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2018-2023, Emil Elestianto Dardak. Bersama mereka, sejumlah penanggap yang tak kalah mumpuni, yaitu Fithra Faisal Hastiyadi (Ekonom UI), Andhyta F. Utami (CEO ThinkPolicy) dan Soelaeman Soemawinata (PPI).

Dalam sambutannya Ketua IAP Jakarta, Adhamski Pangeran mengungkapkan terjadi perubahan pola interaksi antar masyarakat di wilayah sub-urban di sekitar Jakarta perlahan menggerus peran Jakarta sebagai pusat kawasan. Menurut alumni Planologi ITB angkatan 2008 ini, kehadiran Kang Emil (Ridwan Kamil) dan Mas Emil (Dardak) dalam diskusi ini diharapkan mendorong pertukaran gagasan antar pemerhati perencanaan kota untuk memprediksi bagaimana pengembangan kawasan aglomerasi Jakarta kedepan, pasca status ibukota telah beralih ke IKN.

Dalam paparannya, Emil Dardak mengungkapkan seiring waktu terjadi perubahan tren dimana wilayah sub-urban di sekitar Jakarta tumbuh menjadi pusat ekonomi baru yang perlahan menggantikan peran yang sebelumnya dimiliki Jakarta atau disebut sebagai fenomena “Inner City Decline”. Hal ini turut didukung dengan kehadiran jalan tol JORR 2 yang semakin mempermudah koneksi antara wilayah-wilayah sub-urban ini (konsentrik), tanpa perlu melalui wilayah Jakarta.

Emil mengungkapkan gagasan solusi yang bisa dihadirkan di antaranya adalah dengan mengimbangi concentric access antar wilayah sub-urban dengan radial access, yaitu meningkatkan akses mobilitas dari wilayah-wilayah sub-urban ini ke arah pusat kota Jakarta. Selain itu, pola penataan wilayah di masa lalu yang mengkotak-kotakkan fungsi hunian dan bisnis perlu untuk diubah ke pola mix-use yang mendorong penduduk untuk hidup dan bekerja dalam kawasan yang sama dan mereduksi kebutuhan mobilitas ke kawasan luar.

Pada sesi selanjutnya Ridwan Kamil mengungkapkan transportasi publik harus menjadi gaya hidup kedepan, dengan mencontohkan kehadiran kereta Whoosh yang memungkinkan jarak Jakarta-Bandung ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam seperti yang ia gunakan untuk hadir di acara ini. Menurutnya, seiring peningkatkan kualitas akses transportasi publik yang semakin baik, jarak tidak lagi menjadi faktor relevan bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, kedepan akan sangat wajar jika warga Bandung bekerja secara commuter setiap hari ke Jakarta.

Lebih lanjut, alumni S1 Arsitektur ITB angkatan 1990 ini memaparkan kilas balik gagasan pemindahan ibukota yang sesungguhnya sudah ada sejak era Kolonial Belanda, hingga akhirnya ditetapkan menjadi konsep kawasan IKN di Kalimantan Timur pada era Presiden Joko Widodo. Ia juga mengungkapkan bahwa dari berbagai studi kasus yang ada di berbagai negara, peralihan status ibu kota tidak serta-merta akan langsung mengubah kehidupan wilayah bekas ibukota secara drastis. Meski demikian perencanaan jangka panjang tetap diperlukan agar ibukota yang lama bisa berkembang dengan konsep penataan kawasan yang baru.

Maka dari itu, menurutnya yang jauh lebih dibutuhkan dalam perencanaan Jakarta kedepan adalah mengakomodasi sejumlah isu krusial, seperti perubahan iklim, meningkatkan fungsi Jakarta sebagai kawasan hunian (livability), peningkatan mobilitas warga, mendorong net-zero emission, dan rehabilitasi pemukiman kumuh.

Secara terpisah, Sekretaris Eksekutif IA-ITB Jakarta, Ardian P. Putra mengapresiasi terselenggaranya Urban Dialogue oleh IAP Jakarta ini. Menurutnya, kehadiran forum sejenis bisa menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengambil peran mendorong kebijakan penataan kota Jakarta yang lebih partisipatoris. Dengan adanya perspektif yang berbeda dari berbagai kalangan, ada banyak gagasan yang bisa saling memperkaya dan melengkapi, sehingga Jakarta dapat bertumbuh menjadi kota yang lebih humanis.

Menanggapi gagasan dari kedua figur kepala daerah, inisiator NextJakarta ini mengungkapkan bahwa keduanya telah teruji dalam periode jabatannya masing-masing baik sebagai kepala daerah maupun sebagai ahli perencana wilayah, maka dari itu beberapa gagasan yang muncul dari kedua tokoh ini perlu dielaborasi lebih dalam melalui diskusi lanjutan.

“Transformasi dari konsep usang CBD (Central Business District) menjadi Central Living District yang diungkapkan mas Emil sebelumnya perlu kita pertimbangkan untuk pengembangan Jakarta kedepan. Perpindahan berbagai kementerian ke IKN bisa menjadi peluang untuk menjajaki pemanfaatan aset-aset lahan yang ada untuk pengembangan hunian vertikal terjangkau di pusat kota, agar Jakarta tetap menjadi wilayah yang layak huni bagi generasi yang akan datang. Gagasan ini sangat terhubung dengan ide meningkatkan livability kota Jakarta yang dipaparkan Kang Emil. Keduanya saling melengkapi.”, ungkap alumni Biologi ITB angkatan 2003 ini.